Kiprah pendidikan senantiasa hidup dalam suatu dunia yang terus berubah seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan perubahan demografi. Jika dunia pendidikan tidak menyelaraskan diri dengan perkembangan jaman tersebut, pendidikan akan menjadi usang dan tidak selaras dengan kemajuan di milenium kedua ini. Generasi muda saat ini, yang disebut juga Generasi Z atau Net Generation, mempunyai karakteristik yang membuat mereka berbeda dengan generasi terdahulu. Jika dunia pendidikan tidak membuat upaya untuk memetakan profil khas pemelajar ini dan merancang pola pembelajaran yang sesuai, akan terbentuk kesenjangan antara keduanya.
Pemelajar di jaman informasi ini mempunyai kecenderungan gaya belajar aktif, sequential, sensing, dan visual (Felder dan Soloman, 1993). Pemelajar aktif mudah belajar dengan melakukan sendiri apa yang sedang dipelajari. Maka, mata kuliah yang terlalu banyak bersifat ceramah dan komunikasi satu arah serta terpusat kepada dosen (teacher-centered) tidak akan cocok dengan mereka. Sebaliknya, pembelajaran yang membuat mereka menerapkan teori dan melakukan sendiri apa yang sedang dipelajari akan dengan mudah menarik minat dan pada gilirannya kemampuan belajar mereka. Mereka yang bergaya belajar sequential mudah menyerap materi yang diberikan secara runtut, berurutan secara logis, dan dengan jelas terkait antara satu dengan lainnya. Mereka dengan gaya belajar sensing cenderung menyukai fakta, menyukai hal-hal yang penerapan praktisnya jelas, mengharapkan relevansi dengan dunia sehari-hari, dan kurang suka teori abstrak dan tes yang materinya belum dibahas tuntas di kelas.
Akhirnya, mereka dengan gaya belajar visual akan terbantu dengan bagan, skema, dan diagram alir dari rangkaian teori yang sedang mereka kupas. Keempat gaya belajar ini selaras dengan kecenderungan generasi Z yang kehidupannya sarat dengan interaksi lewat berbagai media virtual seperti ponsel, Blackberry, dan Internet. Kesimpulannya, sudah saatnya praktek pendidikan mengakomodasi kecenderungan ini melalui kombinasi yang efektif antara pembelajaran teori dengan eksplorasi dunia maya melalui berbagai piranti teknologi informasi tersebut.
Di bidang pembelajaran bahasa, misalnya, temuan termutakhir di ranah pembelajaran kosa kata membuka cara-cara baru untuk memaksimalkan dampak pembelajaran. Penerapan Output Hypothesis yang semula dirancang untuk mengasah kemampuan berbicara dan menulis telah meluas dengan dampak yang cukup positif pada pembelajaran kosa kata. Pada prinsipnya, semakin sering seorang pemelajar diminta untuk memakai kosa kata yang sedang dipelajarinya dalam ucapan maupun tulisannya, semakin baik kosa kata itu tertanam dalam benaknya. Dengan memaksimalkan sumber daya yang tersedia berlimpah di Internet, seorang guru bahasa bisa dengan mudah menciptakan lingkungan belajar yang memacu pertumbuhan kosa kata para muridnya.
Situs pemilah jenis kata (word profiler) dengan cepat bisa membantu mereka mengenali kosa kata apa yang harus dipelajari secara sadar dengan penuh perhatian (intentional learning), dan mana yang bisa diserahkan pada mekanisme belajar secara otomatis (incidental learning). Lalu, situs yang menyediakan piranti concordance memampukan mereka untuk melihat bagaimana kata-kata dan ungkapan tadi dipakai secara alamiah dalam wacana tulis dan lisan sehari-hari. Stevens (1993) menegaskan bahwa situs concordancer ini menyusun data bahasa sedemikian rupa sehingga pemelajar bisa dengan cepat menemukan pola-pola wacana alamiah dan dengan demikian membuat proses penguasaannya menjadi lebih singkat.
Kamus online bisa dengan cepat membantu mereka menemukan arti beberapa kata penting yang masih baru dikenal. Beberapa kamus online terkenal seperti Cambridge Online Dictionary bahkan menyediakan peta semantik yang merangkaikan kata-kata ini dengan kata-kata sinonim dan lawan katanya dalam suatu bentuk diagram atau jejaring.
Situs terkenal Youtube atau Metacafe menyediakan berbagai tampilan video dimana bahasa dan kosa kata tersebut digunakan dalam interaksi alamiah sehari-hari. Maka, nampak bahwa penggunaan media Internet dalam pembelajaran selaras dengan keempat gaya belajar yang telah diulas di atas tadi.
Pada saat yang sama, dunia pendidikan terus berinovasi dan tak segan mengulas kembali prinsip-prinsip yang telah diajukan di masa lalu namun masih relevan sampai sekarang. Pendekatan berpikir kritis (Critical Thinking) sedang banyak diaplikasikan dan dikaji keefektifannya untuk kegiatan belajar di semua disiplin ilmu. Dengan tujuan utama membentuk pemelajar yang mampu belajar mandiri dengan bertumpu pada alur pemikiran yang logis dan sistematis, pendekatan ini sangat relevan dengan jaman di mana sumber belajar berlimpah dari Internet dan pemelajar terpapar pada sekian banyak sumber informasi.
Dihadapkan pada situasi berkelimpahan seperti ini, tak pelak seorang pemelajar harus secara mantap menentukan tujuannya dan dengan kritis menentukan sumber-sumber apa yang mereka bisa pakai untuk mencapai tujuan tersebut. Bukan hanya itu, namun ketika sudah mencapai tujuan, mereka juga harus mampu mengevaluasi sejauh mana dan bagaimana tujuan itu dicapai. Pada intinya, pendekatan berpikir kritis sebaiknya mulai ditanamkan dan dipacu untuk generasi terdidik dari semua bidang ilmu. Pada saat yang sama, dunia pendidikan sebaiknya tidak segan berbenah diri untuk senantiasa peka terhadap kecenderungan gaya belajar generasi muda dan membuat perubahan yang signifikan.
Stevens, V. (1993). Concordances as enhancements to language competence. TESOL Matters 2, hal 6:11
Daftar Acuan
Prof. Dr. Patrisius Istiarto Djiwandono ( Dosen Universitas Ma Chung Malang )
Felder, R.M., and Soloman, B.A. (1993). Learning styles and strategies. Diunduh 9 Januari 2010 dari http://www4.ncsu.edu/unity/lockers/users/f/felder/public/ILSdir/styles.htmStevens, V. (1993). Concordances as enhancements to language competence. TESOL Matters 2, hal 6:11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar